Proyek energi bersih yang direncanakan di wilayah penghasil batu bara terbesar di Indonesia, seperti Sumatra Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan, diperkirakan bisa menciptakan 50.000 lapangan kerja baru. Menurut perkiraan dari lembaga think tank energi, Ember Climate, proyek ini juga bisa menarik investasi sebesar US$4,3 miliar (Rp65,9 triliun).
Perkiraan ini berdasarkan rencana yang ada untuk menambah 2,7 gigawatt (GW) kapasitas energi terbarukan di wilayah penghasil batu bara sesuai dengan rencana bisnis penyediaan listrik nasional.
Laporan terbaru dari Ember Climate juga menyebutkan bahwa 46.000 lapangan kerja tambahan dan investasi US$5,1 miliar (Rp78,1 triliun) bisa tercipta jika rencana penambahan 5,8 GW kapasitas batu bara hingga 2030 dialihkan ke proyek tenaga surya.
Artinya, total penambahan lapangan kerja baru bisa mendekati 100.000, dengan jumlah investasi mencapai US$9,4 miliar (Rp143,9 triliun) di industri energi bersih Indonesia. Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa mengonversi pembangkit listrik batu bara baru menjadi energi terbarukan juga bisa mencegah emisi setara 18 juta ton karbon dioksida.
Meskipun Indonesia masih bergantung pada batu bara—dengan 81 persen pembangkit listrik dari bahan bakar fosil—dan pertumbuhan energi terbarukan relatif lambat, laporan tersebut menyoroti besarnya potensi risiko pembangkit batu bara baru menjadi aset terbengkalai.
Salah satu penyebabnya adalah pandemi Covid-19 yang telah memperlambat laju pertumbuhan permintaan listrik di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini menyebabkan kelebihan kapasitas di pulau Jawa dan Bali, meskipun kapasitas pembangkit batu bara terus meningkat.
Laporan tersebut menyoroti bahwa tingkat pemanfaatan kapasitas pembangkit batu bara yang ada hanya mencapai 48 persen pada tahun 2023. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa di antaranya tidak beroperasi dengan kapasitas penuh.
Meskipun permintaan listrik diproyeksikan naik 4,9 persen antara 2021 dan 2030 akibat pemulihan dari pandemi, peningkatan efisiensi pembangkit batu bara ini tetap bisa menghasilkan kelebihan listrik hingga 42 terawatt-jam pada tahun 2030, menurut laporan tersebut.
Selain kelebihan kapasitas listrik, laporan itu juga menyebutkan bahwa nilai ekspor batu bara dari Indonesia turun 26 persen pada 2023 dibandingkan tahun sebelumnya akibat penurunan harga komoditas.
India, importir batu bara terbesar kedua dari Indonesia, berupaya mengurangi ketergantungannya pada impor batu bara demi mendorong industri energi bersihnya sendiri.
Ini berarti bahwa produksi batu bara domestik Indonesia mungkin akan turun menjadi 250 juta ton pada tahun 2060, demikian menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia.
Cina, yang merupakan investor terbesar di pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia, juga telah mengumumkan akan menghentikan pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga batu bara baru di luar negeri. Keputusan ini bisa membatasi pendanaan bagi Indonesia dan menimbulkan keraguan terhadap masa depan proyek pembangkit listrik tenaga batu bara.
“Pembangkit batu bara baru memiliki risiko tinggi menjadi aset terbengkalai, sehingga sebaiknya tidak dipertimbangkan. Hal ini membuka peluang untuk mengembangkan energi bersih dan menghindari investasi batu bara yang tidak perlu, bahkan dengan meningkatnya permintaan,” tulis studi Ember Climate.
Wilayah penghasil batu bara utama di Indonesia sangat rentan terhadap risiko tersebut, yang bisa berdampak pada lapangan kerja lokal dan kontribusi produk domestik bruto regional.
Pada tahun 2022, Sumatra Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan menyumbang sekitar 590 juta ton batu bara, atau lebih dari 85 persen dari total produksi batu bara Indonesia.
“Kegiatan ekonomi di provinsi-provinsi ini sangat bergantung pada sektor batu bara. Di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, batu bara menyumbang lebih dari 44 persen dan 30 persen produk domestik bruto regional. Secara nasional, sektor ini juga mendukung lebih dari 150.000 pekerjaan. Seiring dengan kemajuan transisi energi, penurunan sektor batu bara diperkirakan akan berdampak signifikan pada perekonomian provinsi-provinsi tersebut,” tulis laporan itu.
Meskipun ketiga provinsi ini merupakan penghasil batu bara terbesar di Indonesia, Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif – sebuah dokumen yang memetakan jalan bagi sektor ketenagalistrikan Indonesia untuk mencapai targetnya di bawah Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership atau JETP) – menunjukkan bahwa proyek energi terbarukan yang diprioritaskan justru terkonsentrasi di Jawa.
JETP adalah kesepakatan iklim senilai US$20 miliar (Rp308 triliun) yang ditandatangani oleh Indonesia dengan beberapa negara maju untuk membantu mempercepat penutupan pembangkit listrik tenaga batu bara dan mendekarbonisasi sektor ketenagalistrikan di Indonesia.
Laporan itu juga mencatat bahwa para investor dan lembaga keuangan semakin menyadari isu-isu lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). Mereka semakin ragu untuk berinvestasi di sektor batu bara.
“Perubahan korporasi ini kemungkinan akan berdampak pada sektor batu bara di wilayah tersebut, karena sumber daya keuangan dialokasikan kembali ke sektor lain dan mungkin juga ke lokasi lain,” tulis laporan tersebut.
Oleh karena itu, wilayah penghasil batu bara ini bisa mendapatkan manfaat lebih besar dengan menggantikan kapasitas batu bara tambahan dengan energi surya.
Proyek energi terbarukan yang baru bisa mengimbangi hilangnya lapangan kerja akibat penutupan tambang batu bara. Peluang investasi dalam manufaktur teknologi bersih, seperti modul surya dan komponen lainnya, juga bisa semakin meningkatkan investasi dan penciptaan lapangan kerja, tambah laporan tersebut.
(Artikel ini pertama kali dipublikasikan di dalam Bahasa Inggris dengan kerja sama dari The Business Times. Isi di dalamnya telah diterjemahkan, dimodifikasi, dan diedit Septa Mellina sesuai dengan standar editorial Tech in Asia Indonesia)