Mata uang di kawasan Asia menguat pada 26 Agustus lalu, didorong oleh pernyataan bernada dovish dari kepala Federal Reserve AS, Jerome Powell, pada simposium Jackson Hole Jumat lalu. Pernyataan tersebut memperkuat ekspektasi pasar akan pemangkasan suku bunga pada bulan September.
Dolar Singapura menguat 0,4 persen terhadap dolar AS, diperdagangkan di sekitar 1,3026 pada Senin malam, naik dari 1,3082 sebelum pidato Powell. Saat ini, mata uang Singapura berada di level tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir, setelah sempat menyentuh ambang 1,3 pada Senin pagi.
Mata uang unggulan lainnya adalah ringgit, yang tahun lalu menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia. Mata uang Malaysia ini mencapai level tertinggi dalam 18 bulan di angka 4,3488 terhadap dolar AS pada Senin malam, naik 0,6 persen dari 4,3748 sebelum pernyataan Powell pada hari Jumat.
Seperti dolar Singapura dan ringgit Malaysia, baht Thailand juga berhasil menghapus kerugiannya terhadap dolar AS sepanjang tahun ini. Pidato Powell mendongkrak baht hingga mencapai 33,963 per dolar AS pada Senin malam, yang berarti naik 0,8 persen dari 34,245 sebelum pidato tersebut.
Rupiah juga berada di jalur untuk membalikkan kerugiannya sepanjang tahun terhadap dolar AS. Rupiah diperdagangkan di level 15.448 per dolar AS pada Senin malam, setelah naik 0,5 persen dari 15.520 sebelum pidato Powell.
Di sisi lain, yen—dengan Jepang sebagai mitra dagang utama ekonomi regional—terus menguat terhadap dolar AS setelah pernyataan Powell. Yen naik 1,4 persen menjadi 143,93 per dolar AS pada Senin malam, dari 146,02 sebelum pidato tersebut.
Selama beberapa minggu terakhir, mata uang Asia Tenggara secara umum berhasil membalikkan tren melemah terhadap dolar AS. Kondisi ini didukung oleh berbagai faktor seperti data ekonomi AS yang lemah, kekhawatiran resesi, serta upaya domestik oleh bank sentral setempat.
Sejumlah mata uang Asia Tenggara sempat mengalami banyak gejolak di awal tahun ini:
- ringgit hampir mencapai rekor terendahnya
- rupiah berada di posisi terendah dalam empat tahun
- baht kehilangan lebih dari 8 persen terhadap dolar AS pada puncak kelemahannya.
Angin segar hingga akhir tahun
Menurut para ekonom, penguatan mata uang baru-baru ini diperkirakan akan bertahan hingga akhir tahun.
Kepala Riset Valuta Asing Maybank, Saktiandi Supaat, mengatakan ringgit berpotensi menutup tahun sebagai salah satu mata uang dengan kinerja terbaik di kawasan ini.
“Kami masih melihat ada ruang untuk penguatan lebih lanjut seiring melemahnya dolar AS, penyempitan perbedaan imbal hasil, serta penguatan atau stabilitas yuan dan yen yang cenderung berkorelasi erat dengan ringgit,” ujarnya.
Menurutnya, ringgit akan mempertahankan tren penguatan bertahap terhadap dolar AS hingga kuartal ketiga dan keempat tahun ini.
“Kami percaya ringgit akan tetap menguat hingga akhir tahun, terlepas dari arah dolar AS, dengan asumsi ada perbaikan dalam prospek pertumbuhan, posisi fiskal, dan lingkungan politik yang stabil ke depan,” tambah Saktiandi.
Maybank memperkirakan ringgit akan mengakhiri tahun pada kisaran 4,4 hingga 4,45 per dolar AS, dan di kisaran 3,3 hingga 3,35 terhadap dolar Singapura.
Berdasarkan laporan JPMorgan pada 25 Agustus, akumulasi cadangan Malaysia bisa menjadi faktor yang perlu diperhatikan. Namun, para analis tetap berpendapat bahwa kekuatan ringgit dalam jangka panjang masih bisa berlanjut jika reformasi fundamental berhasil menarik kembali para investor.
Para ahli strategi valas Asia di bank tersebut menambahkan, setelah reli baru-baru ini, valuasi dolar AS “masih terlihat tinggi” terhadap mata uang dengan imbal hasil tinggi, seperti rupiah dan peso Filipina.
Namun, analis senior mata uang di MUFG Bank, Michael Wan, percaya bahwa mata uang Indonesia dan Filipina yang berorientasi domestik mungkin akan mengalami kinerja yang kurang baik.
“Untuk Indonesia, ada beberapa ketidakpastian seputar prioritas pemerintahan yang akan datang,” jelasnya. “Untuk Filipina, kami berpikir bahwa defisit perdagangan yang lebih besar menunjukkan peso akan melemah secara bertahap dalam jangka menengah.”
Meski begitu, dia juga berpendapat bahwa mata uang ASEAN seharusnya menguat hingga akhir tahun ini, meskipun tidak secepat dan sebesar yang terlihat dalam dua bulan terakhir.
Selain komentar Powell, dia mencatat bahwa kekuatan mata uang negara-negara yang berorientasi ekspor seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam juga akan didukung oleh peningkatan ekspor secara bertahap seiring pulihnya pertumbuhan global, yang sebagian didorong oleh meredanya inflasi dan kejutan suku bunga.
(Artikel ini pertama kali dipublikasikan di dalam Bahasa Inggris dengan kerja sama dari The Business Times. Isi di dalamnya telah diterjemahkan, dimodifikasi, dan diedit Septa Mellina sesuai dengan standar editorial Tech in Asia Indonesia)