Torch, jenama lokal Indonesia yang menjual travel gear (perlengkapan perjalanan), memiliki target yang ambisius.
“Jika Ikea ingin menyelesaikan semua permasalahan rumah, kami ingin melakukan hal yang sama di luar rumah,” ujar co-founder dan CEO Ben Wirawan dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Tech in Asia.
Berdiri tahun 2015, Torch baru-baru ini mendapatkan pendanaan (jumlahnya tak diungkapkan) dari Init 6, perusahaan VC yang didirikan oleh founder Bukalapak Achmad Zaky dan Nugroho Herucahyono.
Torch merupakan jenama direct-to-consumer (D2C) kedua yang didanai oleh Init 6. Sebelumnya, jenama yang pertama didanai Init 6 adalah Gently yang merupakan peritel produk perawatan ibu dan bayi. Partner Init 6 Rexi Christopher mencatat bahwa VC tersebut saat ini sedang bernegosiasi dengan beberapa jenama D2C lainnya.
Tidak terpaku oleh tren
Berbasis di Bandung, Jawa Barat, Torch menawarkan berbagai perlengkapan perjalanan seperti tas ransel, totebag, dan alas kaki. Torch tidak membuat produknya sendiri. Mereka mengandalkan 30 fasilitas produksi yang tersebar di Pulau Jawa.
Menurut Ben, perusahaan itu telah menghasilkan laba bersih sejak 2018. Pendapatannya di tahun 2023 hampir mencapai US$10 juta (Rp158,85 miliar), dua kali lipat tahun sebelumnya.
Torch saat ini mengoperasikan sembilan toko fisik di sembilan kota di Indonesia. Adapun, tujuh di antaranya baru beroperasi 18 bulan yang lalu atau kurang.
Ben mengatakan, dana investasi yang baru-baru ini diterimanya akan digunakan untuk memenuhi target operasional 50 toko pada 2029 serta meraih pendapatan lebih dari US$70 juta (Rp11,12 miliar) pada tahun yang sama.
Meski Torch memiliki presensi online yang tinggi —salah satunya melalui live streaming yang dilakukan setiap hari di TikTok— perusahaan masih memandang toko fisik sebagai strategi akuisisi yang krusial, khususnya di kota-kota luar Jawa.
Ben mencatat, 80 persen dari pendapatan online perusahaan disumbang dari Pulau Jawa, di mana biaya pengiriman lebih kecil dan waktu pengiriman lebih singkat dibandingkan daerah lainnya.
“Pelanggan di Indonesia masih memandang tinggi jenama yang memiliki toko [fisik] lokal. Karenanya, meski kita membujuk mereka untuk membeli barang secara online, kami perlu mendirikan toko [fisik] lokal untuk meningkatkan kepercayaan mereka,” ujar sang CEO.
Torch telah mengujicobakan outsourcing sebagian operasi ritelnya kepada enabler pihak ketiga WMI. Ini memudahkan Torch untuk lebih berfokus ke “riset dan pengembangan serta penguatan jenama”, ujar Ben.
Pihak Torch mengatakan, saat ini mereka sedang mengalokasikan hingga 20 persen dari anggaran produksi bulanannya untuk mengembangkan produk-produk baru.
Ben mengatakan filosofi desain Torch, yang tidak terpaku oleh tren mungkin menjelaskan mengapa perusahaan itu memiliki rata-rata siklus hidup produk tiga hingga empat tahun.
Beberapa produk best seller Torch antara lain sandal anti selip, yang telah menjadi produk terlarisnya selama delapan tahun terakhir, menurut Ben.
Rencana ekspansi mancanegara
Ben mengenal beberapa pesaing lokal yang merupakan peritel travel gear kenamaan, seperti Eiger, jenama yang telah berdiri selama 35 tahun, yang juga merupakan tempat ia bekerja sebelumnya.
Akan tetapi, ia percaya bahwa Torch melayani audiens yang lebih luas dibandingkan Eiger, yang lebih berfokus pada “adventure gear“.
“Riset internal kami menunjukkan bahwa para pemimpin pasar [untuk produk travel gear] secara keseluruhan melayani 15 persen-25 persen dari total ukuran pasar yang ada saat ini. Sisanya tersebar di jenama-jenama kecil,” jelas Ben.
Pihak Torch menambahkan, selain Indonesia, mereka juga berencana berekspansi ke Malaysia, Thailand, dan Filipina karena “memiliki presensi jenama asing yang kuat.”
“Di ketiga negara itu, jumlah peritel travel gear lokal masih sedikit — ini dapat memperkuat presensi kami [di sana]. Tetapi untuk saat ini, kami ingin berfokus di Indonesia dahulu,” ujar Ben.
Baca artikel lain seputar sektor direct to consumer di sini.
Kurs US$1 = Rp15.885
(Artikel ini pertama kali dipublikasikan di dalam Bahasa Inggris. Isi di dalamnya telah diterjemahkan dan dimodifikasi oleh Mas Daffa Pratamadirdja sesuai dengan standar editorial Tech in Asia Indonesia. Diedit oleh Yustinus Andri)