Memiliki status sebagai startup deep tech, rupanya menjadi tantangan tersendiri bagi Ravelware dalam mengembangkan bisnisnya. Salah satunya adalah sulitnya perusahaan tersebut untuk mendapatkan pendanaan dari modal ventura (VC) di dalam negeri.
Didirikan oleh Randy Budi Wicaksono pada 2016, Ravelware berhasil membuat riset dan pengembangan dalam teknologi pembuatan graphene di Indonesia. Graphene tersebut diproduksi menggunakan bahan baku sekam kelapa dan limbah plastik. Adapun, material graphene biasanya diperoleh dari produk tambang yakni grafit.
Sebagaimana diketahui, graphene merupakan lembaran atom karbon yang memiliki tebal satu atom dan umumnya berbentuk heksagonal. Graphene diklaim memiliki kekuatan 200 kali lebih kuat dari baja dan mempunyai konduktivitas listrik serta panas yang tinggi.
Adapun, graphene menjadi salah satu komponen penting dalam pembuatan baterai, panel surya, alat pemurnian air hingga cip mikro untuk peralatan NFC dan RFID.
Namun demikian, terobosan tersebut tak membuat Ravelware bisa mengembangkan bisnisnya yang bermodel business-to-business (B2B) dengan mulus. Meskipun sempat menggaet sejumlah klien besar seperti Denso, Toyota, Uniqlo dan perusahaan lain, nyatanya startup itu tak kunjung dilirik oleh VC untuk didanai.
Randy mengaku, sejak awal berdiri, dia telah berulangkali ‘menjajakan’ Ravelware kepada lebih dari 50 pemodal ventura, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Akan tetapi, hasilnya tak kunjung sesuai ekspektasi.
“Awalnya ada dua VC yang tertarik. Satu di antaranya akhirnya ghosting kami. Sementara satunya lagi awalnya mau berinvestasi Rp5 miliar, tapi kami dikasih pekerjaan rumah (PR), tapi akhirnya sampai saat ini tidak ada follow up dari VC tersebut,” katanya kepada Tech in Asia pada Senin (19/08/2024).
Adapun, pekerjaan rumah yang dimaksud oleh VC tersebut adalah meminta Ravelware untuk memperbaiki pembukuan di laporan keuangannya. Sebab, selama ini Ravelware belum mampu mencatatkan pendapatan rutin secara bulanan.
“Mereka tidak menargetkan berapa pendapatannya. Tapi yang jelas setiap bulan pasti harus ada produk kami yang dibeli sama konsumen. Jadi kelihatan traction-nya. Dan traction ini diminta tidak hanya berbasis user saja tetapi benar-benar ada duit yang masuk ke rekening kami,” katanya.
Upaya untuk mencatatkan pendapatan secara rutin pun telah diusahakan oleh Randy dan Raverlware. Termasuk memperluas pangsa pasar dengan cara menggaet pelanggan dengan nilai kontrak jumbo yang berkisar antara Rp400 juta—Rp500 juta.
Namun Randy mengaku kesulitan untuk menggarap proyek dengan kisaran nilai kontrak tersebut. Panjangnya rantai birokrasi perusahaan berskala menengah dan besar menjadi salah satu kendala yang dialaminya.
Selain itu dia juga acap kali, mengalami kendala pembayaran dari klien berskala besar tersebut. “Pembayaran yang kami terima sering kali mandek [tak dilunasi]. Hal ini membuat catatan alur kas Ravelware akhirnya jadi tidak sehat,” ujar Randy.
Perbedaan pandangan dengan VC
Di sisi lain, dalam sejumlah pertemuannya dengan para pemodal ventura, dia mendapatkan kesimpulan bahwa terdapat perbedaan pandangan yang mendasar antara Ravelware sebagai startup deeptech dengan VC.
“Kebanyakan VC tidak mau duit investasinya dijadikan modal kerja (capex), dan justru maunya dijadikan biaya operasional (opex). Padahal kami butuh untuk modal kerja, karena lebih penting dan jumlahnya yang besar,” lanjut dia.
Menurutnya, kehadiran VC bagi startup deeptech sangat penting untuk proses mengembangkan bisnis. Dia menilai, VC merupakan alternatif pendanaan yang pas untuk perusahaan rintisan, terutama yang berbasiskan riset dan pengembangan dalam jangka waktu yang panjang.
Sebab, apabila mencari pendanaan dari sektor konvensional seperti perbankan, perusahaan startup terutama deeptech akan kesulitan.
“Startup terutama deep tech itu dinilai kurang bankable. Karena tidak ada aset secara fisik yang bisa dijaminkan. Padahal aset terbesar kami adalah intellectual property,” kata Randy.
Pada akhirnya, dia berpendapat bahwa startup deeptech masih belum menarik dan mendapatkan tempat yang strategis di mata para investor di Indonesia.
Adapun, Edward Ismawan Chamdani dari Asosiasi Modal Ventura Indonesia (Amvesindo) berpendapat bahwa investor punya kaca mata sendiri dalam melihat startup deep tech di Indonesia.
Menurutnya para investor masih berpandangan bahwa jumlah startup di sektor tersebut masih sangat sedikit yang mampu menunjukkan jalur untuk meraih pendapatan dengan cepat. Selain itu, para pelaku di industri tersebut masih belum mampu menunjukkan skala bisnisnya dengan baik.
“Startup deep tech rata-rata lebih banyak ketergantungan terhadap platform dan ekosistem sehingga untuk menghasilkan pendapatan secara langsung, harus mampu membereskan kedua hal itu tersebut dahulu”, kata Edward.
Dapatkan dana hibah dari Austria dan mitra
Kendati mendapatkan penolakan dari sejumlah pemodal ventura, kini Ravelware telah mendapatkan titik cerah terkait dengan persoalan pendanaan. Randy mengaku, pada tahun ini dia telah mendapatkan suntikan modal bernilai Rp30 miliar dari mitranya yang berasal dari Semarang.
Dana tersebut rencananya akan digunakan untuk membangun pabrik dan pusat riset dan pengembangan yang berlokasi di Semarang. Pabrik tersebut nantinya akan digunakan untuk mengolah limbah kelapa untuk memproduksi graphine.
“Pabrik akan mulai dibangun pada Q4/2024,” katanya.
Di samping itu, Ravelware juga memiliki rencana untuk membuka pusat riset dan pengembangan Chip+ dan RFID di Austria. Rencana muncul lantaran Ravelware telah mendapatkan pendanaan dari Pemerintah Austria sebesar 1,5 juta euro. Dana hibah ini terbagi menjadi dua yakni 50 persen berupa berbentuk dana hibah dan 50 persen sisanya berupa pinjaman lunak (soft loan).
Randy menjelaskan, salah satu persyaratan untuk mendapatkan pendanaan dari Pemerintah Austria adalah harus mampu memproduksi produk yang ramah lingkungan. Selain itu, produk yang dihasilkan wajib memenuhi ketentuan analisis mengenai dampak lingkungan hidup (Amdal) yang sangat ketat. Kedua syarat tersebut, menurutnya dapat dipenuhi oleh Ravelware.
Dia menambahkan, alasan lain Pemerintah Austria memberikan dana hibah ke Ravelware adalah prospek pendapatan yang akan diperoleh startup tersebut pada masa depan. Sebab, produk yang dihasilkan oleh Ravelware memiliki biaya produksi yang rendah namun akan banyak dibutuhkan oleh industri teknologi ke depannya.
“Hal ini dinilai mereka dapat menambah kekayaan negara Austria melalui pajak pendapatan,” jelasnya.
Baca artikel lain seputar deep tech di sini.
(Diedit oleh Yustinus Andri)